Perang Tarif dan Nasib Ekonomi RI: Momentum Reposisi Indonesia di Peta Dunia

Oleh: Muhammad Alpian HM – Owner Window of Indonesia

Ketika Presiden AS, Donald Trump, kembali memanaskan panggung global dengan menerapkan tarif 32% terhadap produk asal Indonesia, dunia bisnis sontak terpukul. Tak hanya investor yang gelisah, tapi juga para pelaku industri yang melihat ombak besar datang tanpa aba-aba.

Sebagai seseorang yang berkecimpung dalam dunia perdagangan lintas negara, saya melihat ini bukan sekadar guncangan biasa—ini adalah peringatan keras bagi bangsa yang ingin naik kelas.


Dampak Nyata di Lapangan: Dari Pabrik ke Pasar Saham

Keputusan AS ini bukan hanya wacana diplomatik; efeknya langsung terasa:

  • Nilai tukar rupiah anjlok, seolah menandai ketidakpastian yang semakin dalam.
  • IHSG memerah, mencerminkan kepanikan pasar.
  • Industri tekstil dan karet menjerit. Produk dalam negeri tak hanya kalah bersaing di pasar global, tapi juga digempur barang murah dari Tiongkok di pasar lokal.
  • Perusahaan besar seperti Sritex bahkan hentikan produksi, menandakan bahwa ini bukan badai kecil.

Saya melihat langsung bagaimana para eksportir kecil menengah mulai mempertanyakan keberlanjutan kontrak-kontrak mereka. Banyak yang menunggu keajaiban dari diplomasi, tapi di saat yang sama, mereka tidak tahu ke mana harus berlayar.


Pandangan Saya: Saatnya Ubah Arah Angin

Saya percaya, dalam setiap krisis selalu tersembunyi peluang. Dan perang tarif ini justru bisa menjadi momen emas bagi Indonesia untuk:

  1. Membuka pasar non-tradisional secara agresif: Pasar seperti Timur Tengah, Afrika, dan Asia Tengah belum tergarap maksimal. Di sinilah Window of Indonesia berperan—membuka jalur baru yang selama ini terlupakan.
  2. Rebranding produk Indonesia: Jangan hanya menjual murah. Saatnya kita mengemas ulang keunggulan produk kita: dari story-telling budaya, keberlanjutan, hingga nilai tambah lokal.
  3. Perkuat kolaborasi strategis: Bukan hanya soal negosiasi antar pemerintah, tapi bagaimana pelaku bisnis dari dua negara bisa saling mendukung. Sebagai contoh, kerja sama Indonesia–Turki bisa difokuskan pada industri pertahanan, tekstil premium, dan logistik.
  4. Fokus pada hulu industri: Kalau terus mengandalkan bahan baku luar negeri, kita akan selamanya jadi korban geopolitik. Kita butuh kemandirian industri dari akar.

Perang Tarif Ini, Wake-Up Call untuk Indonesia

Saya tidak ingin Indonesia hanya menjadi penonton dalam peta perdagangan global. Kita terlalu besar untuk terus jadi pasar, dan terlalu kaya untuk hanya mengekspor bahan mentah.

Perang tarif ini adalah alarm. Tapi seperti semua alarm, ini bisa jadi pemicu untuk bangkit—jika kita mau bangun.


📌 Artikel ini ditulis oleh Muhammad Alpian HM – Owner Window of Indonesia, Chairman of Turkey Committee di Kadin Indonesia. Untuk kolaborasi, studi pasar, atau peluang ekspor, silakan hubungi tim kami di www.windowofindonesia.com.